Memahami Penyebab Turunya Produksi Telur

- September 10, 2017

Memahami Penyebab Turunya Produksi Telur

 
Ternak Pertama - Memahami Penyebab Turunya Produksi Telur - Telur adalah satu dari sekian banyaknya produk yng dibutuhkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk memenuhi konsumsi protein hewani warga atau juga bisa dikatakan masyarakat Indonesia. Oleh kareta itu, pengembangan bisnis peternakan ayam petelur di Indonesia masih mempunyai prospek yng cukup terbuka lebar.
Fenomena di lapangan sejauh ini beberapa peternak ayam petelur masih saja menghadapi beraneka ragam masalah yng berdampak pada penurunan jumlah ataupun kualitas telur. Tidak sedikit faktor yng mampu menjadi penyebab kondisi yang telah di sebutkan antara lain dari faktor infeksius (penyakit) serta non infeksius (kecukupan nutrisi pakan, mutu bibit, kondisi lingkungan serta manajemen pemeliharaan).
Kesuksesan bisnis peternakan ayam petelur ditentukan oleh pencapaian produksi telur. Pencapaian produksi telur diukur dari kuantitas/jumlah produksi (HD/Hen day) serta kualitas. Andai persentase jumlah produksi telur tinggi namun kualitasnya rendah, maka peternak akan menghadapi masalah lantaran telur yang dengannya kualitas rendah tak akan laku di pasaran. Sebaliknya, andai kualitasnya tidak jelek alias bagus akan tetapi persentase produksinya rendah maka peternak tetap akan mengalami kerugian ekonomi lantaran biaya operasional tak tertutup oleh penjualan telur.
Penyebab Turunya Produksi Telur
Penyebab Turunya Produksi Telur
Produksi Telur Ayam petelur rata-rata mulai berproduksi disaat mencapai umur 17-18 minggu. Pada umur yang telah di sebutkan, tingkat produksi telur baru mencapai sekitar 5% serta selanjutnya akan terus mengalami peningkatan secara cepat sampai-sampai mencapai puncak produksi yakni sekitar 94-95% di umur 25 minggu. Produksi telur diketahui sudah mencapai puncaknya andaikan selama 5 minggu berturut-turut persentase produksi telur telah tak mengalami peningkatan lagi.
Baca Pula:
  • Harga Telur Hari Ini

Sesuai yang dengannya pola siklus bertelur, maka seusai mencapai puncak produksi tidak banyak demi tidak banyak produksi mulai mengalami penurunan secara konstan dalam jangka waktu cukup lama selama 52-62 minggu sejak pertama kali bertelur. Laju penurunan produksi telur secara normal berkisar antara 0,4-0,5% per minggu. Pada tatkala ayam berumur 80 minggu, jumlah produksi sudah berada di bawah angka 70% serta pada kondisi demikian mampu dikatakan ayam siap di afkir (HyLine Brown Management Guide, 2007).
Kualitas telur Kualitas telur bisa dilihat dari bagian dalam serta luar. Bagian dalam meliputi kekentalan putih serta kuning telur, warna kuning telur serta ada tidaknya bintik darah pada putih ataupun kuning telur. Sedangkan kualitas bagian luar dilihat dari bentuk, ukuran serta warna kerabang. Telur ayam komersial yng normal mempunyai ciri-ciri berwarna coklat terang, kerabang telur tebal, mempunyai berat sekitar 55-65 gram/butir, putih telur kental serta di dalam kuning telur tak terdapat blood spot/bintik darah.
Ayam umur 18 minggu sampai-sampai afkir, ukuran serta berat telur memanglah tak akan percis setiap harinya. Dalam hal ini, seorang peternak Perlu mempunyai respon bagi atau bisa juga dikatakan untuk menentukan apakah ukuran/berat telur yng diperoleh sesuai/mendekati standar ataupun jauh dari standar. Jauh dari standar, pengertiannya mampu lebih besar ataupun lebih kecil. Tak sesuainya ukuran serta berat telur mampu penyebabnya yaitu oleh beberapa faktor yng berbeda.
Terkait warna telur, beberapa peternak menjumpai telur tak berwarna coklat. Warna coklat pada telur ayam dasarnya memang dipengaruhi oleh faktor genetik yakni adanya zat warna phorpyrin di saluran reproduksi ayam. Jadi setiap jenis unggas, sudah ditentukan warna telurnya baik putih, biru ataupun coklat. Akan tetapi dalam pembentukan warna kulit telur pula dipengaruhi oleh asupan nutrisi ataupun obat tertentu. Kondisi lingkungan serta penyakit pula mampu berpengaruh terhadap optimal tidaknya pewarnaan kerabang telur. Masalah kerabang telur tipis serta lembek mampu bersumber dari nutrisi maupun lantaran infeksi penyakit. Demikian pula yang dengannya putih telur yng encer.
Dalam menjalankan bisnis ayam petelur tidak jarang berlangsung penurunan jumlah produksi yng disertai yang dengannya penurunan kualitas telur sekalian. Menjadi semisal pada kasus serangan penyakit IB, jumlah produksi telur mampu turun sebesar 10-50%, tak cuma itu, serangannya pun memicu kualitas telur menurun semisal bentuk telur abnormal, putih telur encer serta warna kerabang telur pucat. Bagi atau bisa juga dikatakan untuk itu butuh adanya upaya mendiagnosa secara cepat serta tepat penyebab penurunan produksi telur supaya peternak bisa segera mengantisipasinya. Andai ini bisa di lakukan yang dengannya baik, maka kerugian yng lebih besar bisa dihindari.
Banyak sekali Masalah dalam Produksi Telur Secara Umum ada dua penyebab utama turunnya produksi telur yakni penyebabnya yaitu oleh faktor infeksius serta non infeksius. Seringkali kedua faktor yang telah di sebutkan terkait satu percis lain serta menghasilkan dampak yng lebih besar.
1. Faktor infeksius (penyakit)
Penyakit dianggap menjadi satu dari sekian banyaknya penyebab utama penurunan produksi telur pada ayam petelur lantaran memicu banyak sekali disfungsi organ, baik itu organ pencernaan, pernapasan, syaraf ataupun organ reproduksi yng secara langsung berhubungan yang dengannya produksi telur. Diantara jenis penyakit yang telah di sebutkan yng Suka menjadi buah bibir peternak ayam petelur merupakan ND, AI, IB serta EDS. Virus AI mempunyai 2 mekanisme dalam mengganggu organ reproduksi ayam, yakni pembendungan pembuluh darah di ovarium serta rusaknya permukaan ovarium pada tatkala budding exit ataupun keluarnya virus dari sel. Kedua mekanisme ini akan menghasilkan penurunan malah menghentikan produksi telur. Infeksi AI pula memberi pengaruh kualitas telur dimana serangannya memicu telur kehilangan pigmennya menjadikan warna kerabang menjadi lebih pucat.
Perubahan pada organ reproduksi akibat ND yakni indung telur mengecil, selaput telur membengkak serta berlangsung perdarahan. Begitu pula pada infeksi virus EDS, oviduct menjadi kendur serta terdapat oedema (pembengkakan) pada jaringan sub-serosa-nya. Selain itu, penyakit EDS pula memicu warna coklat pada kerabang telur hilang, diikuti yang dengannya kerabang tipis, lembek serta tanpa kerabang. Pada kasus serangan IB, ovarium tak berkembang, lunak semisal bubur, berdarah, membengkak serta lembek.
Selain itu Suka dijumpai kasus pecahnya kuning telur pada rongga perut. Kasus cystic oviduct pula makin menaikan keparahan serangan IB. Dari segi kualitas telur yng diperoleh, kasus IB memicu warna telur menjadi lebih pucat, ukuran telur lebih kecil, putih telur encer, kerabang menjadi tipis serta gampang pecah.
Kerusakan ataupun gangguan pada system reproduksi akibat infeksi satu dari sekian banyaknya penyakit penurun produksi telur yang telah di sebutkan akan menghasilkan produksi telur menurun. Penurunan produksi telur akibat serangan virus IB berkisar 10-50%, EDS menurun 20-40% serta AI mampu mencapai 80%, sedangkan pada kasus ND berdeda-beda bergantung dari status kekebalan.
2. Faktor non infeksius
Penurunan produksi telur pada kasus non infeksius setidaknya penyebabnya yaitu 3 faktor, antara lain :
Kualitas pullet Kasus yng penyebabnya yaitu oleh kualitas pullet yng tidak lebih baik ditandai yang dengannya ciri-ciri mempunyai berat badan serta keseragaman pullet yng rendah. Keseragaman pullet yng rendah ini bisa menghasilkan ketidakseragaman awal produksi serta tak seragamnya ukuran telur yng diperoleh. Tanda lain-lainnya, lamanya mencapai dewasa kelamin menjadikan awal produksi menjadi terlambat. Adanya pullet yng memiliki jarak tulang pubis yng sempit pula menjadi tanda tersendiri yng menghasilkan ayam yang telah di sebutkan memiliki ukuran telur yng lebih kecil.
Baca Pula :
  • Harga Doc Dod Pullet
  • Tips Memilih DOC Broiler

Nutrisi ransum serta air minum Masalah kualitas ransum yng tidak baik, nutrisinya tidak lebih ataupun tak seimbang dan ransum yng memiliki kandungan zat racun/antinutrisi bisa memicu penurunan produksi telur. Demikian halnya yang dengannya kecukupan air minum.
Ayam petelur yng tak mengkonsumsi air minum cuma selama beberapa jam, akan berhenti berproduksi telur hingga berminggu-minggu. Ukuran serta berat telur pula dipengaruhi oleh nutrisi ransum semisal protein, asam amino tertentu semisal methionine serta lysine, energi, lemak total serta asam lemak esensial semisal asam linoleat. Tak terpenuhinya kebutuhan dari satu dari sekian banyaknya nutrisi yang telah di sebutkan melalui asupan ransum, maka akan mengurangi berat telur. Malah andai hal yang telah di sebutkan berlangsung pada petelur produksi sebelum umur 40 minggu, mampu berakibat pada penurunan jumlah produksi telur.
Ayam petelur butuh asupan kalsium (Ca) yng cukup tinggi di masa produksi. Andai sediaan Ca di dalam tubuh ayam tak tercukupi, maka jumlah produksi akan menurun serta pembentukan kerabang telur pun bisa terganggu. Akibatnya kerabang telur lembek. Asupan Ca pula memberi pengaruh warna kerabang telur. Andai kadar Ca rendah ataupun tak cukup maka sekresi phorpyrin tatkala pengecatan kerabang telur akan berkurang akibatnya warna kulit telur menjadi lebih putih.
Perlu diperhatikan juga keseimbangan antara Ca serta P (fosfor), dimana perbandingannya merupakan 5-6 : 1. Peranan Ca serta P saling terkait serta memiliki hubungan yng menunjang satu percis lain. Disamping itu penggunaan Ca serta P akan lebih efisien bila dalam ransum cukup memiliki kandungan vitamin D. Vitamin D ini dibutuhkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengabsorbsi unsur Ca serta P dalam tubuh ayam. Selain vitamin D, dibutuhkan juga vitamin lain yng dibutuhkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk menyusun telur serta mengantisipasi efek stres yng barangkali timbul menjadikan mengganggu produksi telur. Nutrisi yng pula penting bagi atau bisa juga dikatakan untuk diperhatikan kadarnya dalam ransum adalah mineral garam (NaCl). Pemberian kadar garam yng terlalu tinggi ataupun terlalu rendah bisa menurunkan produksi telur. Ayam yng tidak lebih mengkonsumsi garam akan menunjukan gejala rontok bulu (mematuk ayam lain, mematuk bulunya sendiri) ataupun mengalami penurunan nafsu makan. Sebaliknya ayam yng mengkonsumsi terlalu tidak sedikit garam, akan menaikan konsumsi air minumnya serta menurunkan konsumsi ransum. Akibatnya nutrisi yng dibutuhkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk membentuk telur berkurang serta penurunan produksi pun akan berlangsung. Berikan ransum yang dengannya kadar garam 0,3-0,4%.
Seringkali kasus ketidakseimbangan nutrisi berdampak pada pencapaian berat badan (BB) ayam yng tak sesuai yang dengannya standar. Tatkala memasuki masa produksi, ayam yang dengannya BB di bawah standar tak akan mengawali produksi telur serta andai berproduksi pun akan diperoleh telur berukuran kecil dalam waktu yng relatif lama. Selain itu, periode produksi menjadi mundur yang dengannya jumlah produksi yng rendah. Begitu pula sebaliknya, pertumbuhan BB yng melebihi standar akan memicu produksi telur menjadi turun yang dengannya ukuran telur yng besar. Selain itu pula Suka menimbulkan terjadinya kasus prolapsus. Fenomena prolapsus tentunya akan Amat berakibat fatal lantaran berdampak pada kerusakan permanen saluran telur menjadikan ayam berhenti berproduksi. Adanya timbunan lemak yang telah di sebutkan pula akan menghambat proses pembentukan telur (produksi telur rendah).
Manajemen pemeliharaan Manajemen pemeliharaan ayam petelur yng tidak baik menghasilkan penurunan jumlah produksi serta kualitas telur. Tindakan manajemen yang telah di sebutkan, antara lain menjadi berikut :
1. Minimnya pencahayaaan ataupun tak cukupnya intensitas cahaya Ayam petelur yng telah memasuki masa produksi telur, butuh 16 jam pencahayaan bagi atau bisa juga dikatakan untuk memelihara jumlah produksi telur tetap optimal. Faktor pencahayaan tatkala masa pullet pula berhubungan erat yang dengannya pencapaian berat, ukuran telur serta kematangan saluran reproduksi. Secara umum ayam yng mengalami kematangan seksual terlalu dini (belum cukup umur) akan memproduksi telur yang dengannya ukuran kecil. Demikian pula sebaliknya disaat kematangan seksual terlambat, maka ayam akan memproduksi telur yang dengannya ukuran besar (abnormal).
2. Faktor stres Stres bisa memicu turunnya produksi telur. Stres yng biasa berlangsung meliputi stres akibat perubahan cuaca/suhu (kedinginan ataupun kepanansan), pindah sangkar, serangan parasit serta perlakuan kasar. Stres yng ditimbulkan akibat bunyi gaduh ataupun perlakuan kasar bisa memicu proses pembentukkan kerabang telur tak berlangsung secara sempurna. Kedinginan merupakan stres yng paling Suka berlangsung selama musim penghujan. Dalam kondisi ini pencahayaan berkurang serta berakibat tak terangsangnya hormon reproduksi bagi atau bisa juga dikatakan untuk memproduksi telur.
Sebaliknya stres akibat cuaca panas, memicu ayam lebih tidak sedikit minum serta mengurangi aktivitas konsumsi ransum menjadikan kebutuhan nutrisi bagi atau bisa juga dikatakan untuk pembentukan telur tak terpenuhi. Kondisi ini bisa memicu produksi telur turun, demikian juga yang dengannya kualitasnya. Selama cuaca panas, ayam akan melakukan panting (megap-megap) menjadikan mengeluarkan tidak sedikit karbondioksida (CO2). Pada pembentukan telur, CO2 dibutuhkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk membentuk kalsium karbonat (CaCO3) yng bermanfaat bagi atau bisa juga dikatakan untuk menyusun kerabang telur. Akibat CO2 berkurang maka kerabang akan lebih tipis serta gampang retak.
Solusi : Tips Mengatasi Turunya Produksi Telur
Demikian Tulisan atau artikel perihal " Memahami Penyebab Turunya Produksi Telur " yng mampu kami sampaikan. Mudah-mudahan memberikan manfaat bagi kita seluruh. Salam Berhasil Peternak Indonesia!!
Sumber : Info medion FS 7:18 AM

Sumber rujukan dan gambar : http://www.ternakpertama.com/2016/12/memahami-penyebab-turunya-produksi-telur.html.

Seputar Memahami Penyebab Turunya Produksi Telur

Advertisement

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Cari Artikel Selain Memahami Penyebab Turunya Produksi Telur